Ghazwul Fikr, Sekular, Liberal dan Pluralisme
Langkah-Langkah Ghazwul Fikr
(5S dan 4F)
Hubungan 5S dan 4F
Hubungan 5S dan 4F (Food, Fun, Fashion, Film, Sex, Smoke, Sains, Sport, Song) adalah program untuk menghancurkan umat Islam atau disebut ghazwulfikr. Para pelaku ghazwulfikr sangat jeli dalam melihat kelemahan umat islam, kesempatan ini mereka gunakan untuk melancarkan serangan-serangannya yang sudah terencana dengan matang, sehingga kita dapat mengenal beberapa program dari Ghazwulfikr seperti Program 5S dan 4F
1. Sex (hubungan pra nikah)
Menyebar luaskan free sex, terutama untuk pemuda-pemudi Islam. Saat ini hubungan pranikah antara pria dan wanita menjadi suatu hal yang tidak asing bahkan menjadi suatu trend di kalangan remaja islam yang timbul dari budaya pergaulan bebas antara lawan jenis.
2. Song (lagu)
Mempopulerkan lagu-lagu bermuatan sekuler dan budaya barat melalui lagu-lagu dari negerinya sendiri ataupun dari negeri islam.
Menyebarkan lagu-lagu Islami dengan lirik yang sarat hikmah dan namun bermuatan musik dan tidak menambah keimanan.
3. Show (TV atau film)
· Menampilkan film-film dengan adegan yang vulgar.
· Menampilkan film-film yang menyudutkan Islam.
· Menyuguhkan acara-acara bermuatan sekuler.
· Pengaturan Jam tayang acara pada waktu shalat.
4. Science (ilmu pengetahuan)
· Menanamkan pola pikir barat.
· Mempopulerkan ilmuwan non islam.
· Memutarbalikkan fakta tentang ilmu-ilmu yang ada saat ini.
5. Story (sejarah)
· Memutarbalikan fakta dan kebenaran sejarah dunia
· Menenggelamkan tokoh-tokoh sejarah Islam, dan merusak citra baik mereka di mata dunia.
6. Fun
Menyebarkan paham life for fun (hidup untuk kesenangan).
Secara tidak langsung kita telah bersumbangsih kepada Yahudi dan Nasrani untuk menyerang Islam diantaranya makanan yang bisa kita makan yaitu McD, Fizza Hut, coca colla, dll yang sebenarnya makanan tersebut lebih dikenal dengan junk food ( sampah ) yang tidak baik untuk kesehatan dan juga bisa menurunkan IQ secara drastis.
Remaja pada masa kini lebih senang terhadap hal-hal yanng tidak terikat oleh aturan. Biasanya anak-anak remaja lebih suka jalan-jalan di mall, nonton di bioskop, dan chating dari pada mengikuti kajian tentang ke-Islaman. Secara tidak langsung umat Islam telah terjajah oleh kesenangan sesaat.
7. Food
Membuat makanan-makanan berbau syubhat, yang diragukan standar kehalalannya.
8. Fashion
Adanya slogan back to nature yakni menggunakan kulit dan bagian binatang tertentu sebagai bahan pakaian. Serta melalaikan kewajiban muslimah untuk mengenakan jilbab, dengan mengumbar aurat mereka.
Masalah ini biasanya lebih digandrungi oleh kaum hawa. Biasanya mereka kurang percaya diri ketika mereka mengenakan baju yang sesuai dengan sya’riat Islam. Mereka lebih cenderung memakai baju yang seksi dan menonjolkan aurat. Kalaupun ada yang menegenakan kerudung lebih suka mengenakan kerudung gaul dan bajunya memeperlihatkan lekak-lakuk tubuhnya
9. Film
Image Kerusakan akhlak yang diakibatkan oleh berbagai program tayangan TV bukan isapan Jempol, Ghazwul Fikri adalah sebuah proyek besar musuh musuh Islam yang dilancarkan berbagai media TV. Berikut ini penjelasannya.
BAHAYA DAN AKIBAT “Ghazwul Fikri"
Inilah bahaya ghazwul fikri. Ghazwul Fikri akan menyeret seseorang ke dalam jurang kesesatan dan kekafiran tanpa terasa. Generasi muda umat Islam dimurtadkan dari ajaran Islam yang haq.
1. Perusakan Akhlaq
Dengan berbagai media musuh-musuh Islam melancarkan program-program yang bertujuan merusak akhlaq generasi muslim. Mulai dari anak-anak, remaja, dewasa, sampai yang tua renta sekalipun. Di antara bentuk perusakan itu adalah lewat majalah-majalah, televisi, serta musik. Dalam media-media tersebut selalu saja disuguhkan penampilan tokoh-tokoh terkenal yang pola hidupnya jelas-jelas jauh dari nilai-nilai Islam. Mulai dari cara berpakaian, gaya hidup dan ucapan-ucapan yang mereka lontarkan.
Dengan cara itu, mereka telah berhasil membuat idola-idola baru yang gaya hidupnya jauh dari adab Islam. Hasilnya betul-betul luar biasa, banyak generasi muda kita yang tergiur dan mengidolakan mereka. Na’udzubillahi min dzalik!
2. Perusakan Pola Pikir
Dengan memanfaatkan media-media tersebut di atas, mereka juga sengaja menyajikan berita yang tidak jelas kebenarannya, terutama yang berkenaan dengan kaum muslimin. Seringkali mereka memojokkan posisi kaum muslim tanpa alasan yang jelas. Mereka selalu memakai kata-kata; teroris, fundamentalis untuk mengatakan para pejuang kaum muslimin yang gigih mempertahankan kemerdekaan negeri mereka dari penguasaan penjajah yang zhalim dan melampui batas. Sementara itu di sisi lain mereka mendiamkan setiap aksi para perusak, penindas, serta penjajah yang sejalan dengan mereka; seperti Israel, Atheis Rusia, Fundamentalis Hindu India, Serbia, serta yang lain-lainnya. Apa-apa yang sampai kepada kaum muslimin di negeri-negeri lain adalah sesuatu yang benar-benar jauh dari realitas. Bahkan, sengaja diputarbalikkan dari kenyataan yang sesungguhnya.
3. Sekulerisasi Pendidikan
Hampir di seluruh negeri muslim telah berdiri model pendidikan sekolah yang lepas dari nilai-nilai keagamaan. Mereka sengaja memisahkan antara agama dengan ilmu pengetahuan di sekolah. Sehingga muncullah generasi-generasi terdidik yang jauh dari agamanya. Sekolah macam inilah yang mereka dirikan di bumi Islam pada masa penjajahan (imperialisme), untuk menghancurkan Islam dari dalam tubuhnya sendiri.
4.Pemurtadan
Ini adalah program yang paling jelas kita saksikan. Secara terang-terangan orang-orang non muslim menawarkan “bantuan” ekonomi; mulai dari bahan makanan, rumah, jabatan, sekolah, dan lain-lainnya untuk menggoyahkan iman orang-orang Islam.
AKIBAT KORBAN “Ghazwul Fikri”
Jika yang menjadi korban ghazwul fikri adalah seorang tokoh terkemuka dan berpengaruh, maka racun ghazwul fikri itu segera menjalar secara cepat, karena tokoh tersebut akan diikuti dan ditiru oleh pengikut dan penggemarnya. Akhirnya, secara tidak sadar masyarakat terjerumus kedalam jurang kehidupan yang semakin jauh dari nilai-nilai dan ajaran Islam. Mengingat begitu besarnya bahaya dan akibat ghazwul fikri bagi kehidupan umat Islam, maka perlu bagi kaum muslimin untuk memahamighazwul fikri dan aplikasinya dalam realitas kehidupan sehari-hari. Sebab tanpa mengerti hakikat dan keberadaannya tidak akan dapat menghindari serangan ghazwul fikri dan otomatis umat Islam tidak bisa melawannya. Mudah-mudahan Allah selalu melindungi kita dari bahaya apapun yang dapat menyesatkan kita. Amin Ya Rabbal ‘Alamin.
SEKULARISASI DAN LIBERALISASI ISLAM DI INDONESIA
Sebagaimana di bagian dunia Islam lainnya, wilayah Tamadun Melayu, juga tidak terlepas dari usaha sekularisasi oleh Barat. Di Indonesia, usaha sekularisasi sudah dilakukan sebelum Indonesia merdeka. Pada tahun 1930-an, Soekarno yang ketika itu belum menjadi Presiden sudah menulis beberapa artikel yang mendukung sekularisasi yang dilakukan Mustafa Kemal Attaturk di Turki. Dalam Majalah Pandji Islam nombor 12 dan 13 tahun 1940, Soekarno menulis sebuah artikel berjudul “Memudakan Islam”. Menurut Soekarno langkah-langkah sekularisasi yang dijalankan kemal Attaturk adalah tindakan “paling modern” dan “paling radikal”. Katanya: “Agama dijadikan urusan perorangan. Bukan Islam itu dihapuskan oleh Turki, tetapi Islam itu diserahkan kepada manusia-manusia Turki sendiri, dan tidak kepada negara. Maka oleh Kerana itu, salahlah kita kalau kita mengatakan bahwa Turki adalah anti-agama, anti-Islam. Salahlah kita, kalau kita samakan Turki itu dengan, misalnya, Rusia.”
Mengutip Frances Woodsmall, Soekarno mencatat:
“The attitude of modern Turkey towards Islam has been anti-orthodox, or anti-ecclesiatical, rather than anti-religious… The validity of Islam as a personal belief has not been denied. There has been no cessation of the services in the mosque, or rather religious observances.”
Jadi, kata Soekarno, apa yang dilakukan Turki sama dengan yang dilakukan negara-negara Barat. Di negara-negara seperti Inggris, Perancis, Belanda, Belgia, Jerman, dan lain-lain, urusan agama diserahkan kepada individu pemeluknya, agama menjadi urusan pribadi, dan tidak dijadikan sebagai urusan negara, tidak dijadikan sebagai agama resmi negara.
Pemikiran Soekarno itu ditentang oleh tokoh-tokoh Islam seperti A. Hassan dan Mohammad Natsir. A. Hassan mengritik keras pandangan Soekarno tentang sekularisme. Di Majalah yang sama ia menulis artikel berjudul “Membudakkan Pengertian Islam”. Hassan menyebut logika Soekarno sebagai “logika otak lumpur”. Sebagian besar pejabat pemerintah Turki di masa Attaturk, menurut A. Hassan, adalah pemabok, hobi dansa, dan pelaku berbagai kegiatan maksiat lainnya. Tetapi, itulah yang justeru dipuji Soekarno sebagai tindakan paling modern dan radikal. Mereka juga yang menghapus hukum-hukum Allah dari masyarakat Turki. Tulisan Arab diganti dengan Latin. A. Hassan mencontohkan, di negara Rusia saja, orang Islam bebas salat di masjid dan boleh berazan dalam bahasa Arab. Sedangkan di Turki, oleh Kemal Attaturk, azan pun harus dilakukan dengan bahasa Turki. A. Hassan juga membantah logika Soekarno bahwa pengaruh Islam di Turki hilang Kerana diurus oleh pemerintah. Faktanya, penguasa Islam waktu itu tidak menjalankan dan mengurus Islam sebagaimana semestinya diajarkan oleh Islam. Bahkan, tak jarang, agama hanya dijadikan alat untuk mempertahankan kekuasaan. Akan tetapi, kata A. Hassan, ini bukan berarti Islam tidak sanggup mengurus negara.
Usaha kelompok sekular di Indonesia berhasil menggagalkan berdirinya negara Indonesia yang berdasarkan Islam. Dalam sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada tahun 1945, kelompok nasionalis sekular terus berhadapan dengan kelompok nasionalis Islam. Kedua kelompok ini akhirnya bersepakat membentuk Panitia Sembilan yang dipimpin oleh Soekarno dan pada tanggal 9 Juli 1945 berhasil menyusun Piagam Jakarta. Piagam ini memuat kata-kata: “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya (yang kemudian dikenal dengan istilah “tujuh kata”. Soekarno mengatakan, bahawa "tujuh kata" itu adalah "kompromi untuk menyudahi kesulitan antara kita bersama."
Dalam sejarah perjalanan politik Indonesia, kelompok sekular tetap berhasil mempertahankan dominasinya dalam politik Indonesia, sejak kemerdekaan sampai zaman reformasi. Usaha-usaha untuk menetapkan Islam sebagai agama resmi negara atau menerapkan syariat Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara senantiasa mengalami kegagalan. Bahkan, setelah reformasi, tokoh-tokoh Islam turut menolak dimasukkannya “tujuh kata” dari Piagam Jakarta ke dalam konstitusi. Sebagai contoh, pada tanggal 10 Agustus 2000, tiga tokoh Islam Indonesia, yaitu Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof. Dr. Syafii Ma’arif, dan Prof. Dr. Nurcholish Madjid membuat pernyataan bersama. Isinya: menolak masuknya Piagam Jakarta dalam pasal UUD 1945.
Ada tiga alasan yang dikemukakan:
1. pencantuman Piagam Jakarta akan membuka kemungkinan campur tangan negara dalam wilayah agama yang akan mengakibatkan kemudharatan, baik bagi agama maupun pada negara sebagai wilayah publik,
2. dimasukkannya Piagam Jakarta akan membangkitkan kembali prasangka-prasangka lama dari kalangan luar Islam mengenai “negara Islam” di Indonesia,
3. Dimasukkannya Piagam Jakarta bertentangan dengan visi negara nasional yang memperlakukan semua kelompok di negeri iji secara sederajat.
Perubahan besar yang terjadi di kalangan tokoh-tokoh Islam ini menunjukkan suksesnya gerakan sekularisasi di Indonesia. Usaha ini dimulai oleh Nurcholish Madjid, yang ketika itu menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), sebuah organisasi mahasiswa Islam terbesar. Pada tanggal 2 Januari 1970, dalam diskusi yang diadakan oleh HMI, PII, GPI, dan Persami, di Menteng Raya 58, Nurcholish Madjid membacakan makalah berjudul “Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”. Nurcholish Madjid menulis dalam makalah itu: “… dengan sekularisasi tidaklah dimaksudkan penerapan sekularisme dan merobah kaum muslimin menjadi kaum sekularis. Tapi dimaksudkan untuk menduniakan nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi dan melepaskan ummat Islam dari kecenderungan untuk mengukhrowikannya.”
Dalam wawancara dengan Harian Kompas tanggal 1 April 1970, Nurcholish mengatakan: “Orang yang menolak sekularisasi lebih baik mati saja. Kerana sekularisasi adalah inherent dengan kehidupan manusia sekarang di dunia ini (saeculum berarti jaman atau keadaan sekarang, juga berarti dunia ini). Dalam makalahnya yang lain, “Sekali Lagi tentang Sekularisasi”, ia juga memaparkan pengertian sekularisasi. Agama Islam, katanya, bila diteliti benar-benar dimulai dari proses sekularisasi terlebih dahulu. Justeru ajaran Tauhid itu merupakan pangkal tolak proses sekularisasi secara besar-besaran.
Nurcholish juga mengatakan: “Dari tinjauan yang lebih prinsipil, konsep 'Negara Islam' adalah suatu distorsi hubungan proporsional antara agama dan negara. Negara adalah salah satu segi kehidupan duniawi yang dimensinya adalah rasional dan kolektif, sedangkan agama adalah aspek kehidupan yang dimensinya spiritual dan peribadi."
Terhadap fikiran Nurcholish tersebut, cendekiawan Muslim Indonesia, Prof. Rasjidi berkomentar "kata-kata tersebut bukan kata-kata orang yang percaya kepada Quran, akan tetapi merupakan kata orang yang pernah membaca Injil. Dalam Matheus 22-21 disebutkan: Render unto Caesar the things which are caesar' and unto God the thing which are God's. Prof. Tahir Azhary, pensyarah di Faulti Hukum Universiti Indonesia, juga menilai gagasan pembaharuan Nurcholish mengarah kepada sekularisasi Islam, selain mengecewakan umat Islam, menurut Azhary, Nurcholish juga tidak berhasil memahami bagaimana sesungguhnya hubungan antara Agama Islam dan kehidupan kenegaraan dan masyarakat.
Meskipun mendapatkan tentangan keras dari tokoh-tokoh Islam di Indonesia, fahaman sekularisasi Nurcholish Madjid tetap berjalan dan membawa kesan yang besar terhadap para intelektual Muslim, disebabkan kuatnya dukungan kerajaan Orde Baru dan mass media di Indonesia. Nurcholish Madjid membungkus fahaman sekularisasinya dengan kata “pembaruan”. Ia diberi sebutan oleh Majalah Temposebagai "Penarik Gerbong Kaum Pembaharu".
Greg Barton juga menyebut perang Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid sangat sentral dalam gerakan kaum neo-modernis pada akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an. Gerakan ini mendapat sebutan berbagai nama, seperti "Pembaruan Pemikiran Islam", "akomodasionis", "substansialis", "progresif", dan "liberal". Mass media Barat, kadangkala menyebut Nurcholish Madjid sebagai "voice of reason" (suara kebenaran) atau "heart of his nation" (hati nurani bangsanya).
Greg Barton menjelaskan beberapa prinsip gagasan Islam Liberal:
(a) Pentingnya konstekstualisasi ijtihad,
(b) Komitmen terhadap rasionalitas dan pembaruan,
(c) Penerimaan terhadap pluralisme sosial dan pluralisme agama-agama,
(d) Pemisahan agama dari partai politik dan adanya posisi non-sektarian negara.
Menurut Barton, ada empat tokoh Islam Liberal di Indonesia, iaitu Abdurrahman Wahid, Nurcholish Madjid, Ahmad Wahib, dan Djohan Efendi.
Tokoh-tokoh Islam Liberal di Indonesia kemudiannya menjadikan sekularisasi sebagai program penting gerakan liberalisasi Islam. Koordinator Jaringan Islam Liberal, Ulil Abshar Abdalla mengatakan:
Islam liberal bisa menerima bentuk negara sekuler... sebab, negara sekuler bisa menampung energi kesalehan dan energi kemaksiatan sekaligus.
Aktivis Islam Liberal lainnya, Dr. Denny JA, juga menulis:
Sudah saatnya komunitas Islam Liberal di Indonesia mengembangkan sebuah teologi tersendiri yang sah secara substansi dan metodologi, yaitu Teologi Islam Liberal. Ini sebuah filsafat keagamaan yang bersandar kepada teks dan tradisi Islam sendiri, yang memberi pembenaran kepada sebuah kultur liberal. Dalam politik, teologi itu menjadi Teologi Negara Sekular (TNS), yaitu sebuah filsafat keagamaan, yang menggali dari teks dantradisi Islam, yang parallel atau membenarkan perlunya sebuah negara yang sekular sekaligus demokratis.
Jadi, perjuangan kelompok Islam Liberal di Indonesia secara jelas mahu membentuk negara sekular. Mereka sudah menyatakan secara terbuka dan mendapat dukungan yang kuat dari tokoh-tokoh Islam di Indonesia. Hal inilah yang belum pernah terjadi dalam sejarah Islam di Indonesia. Sebab, dulunya yang mengembangkan fahaman sekular bukanlah dari kelompok-kelompok dan organisasi Islam, tetapi dari kelompok sekular atau kebangsaan.
Pluralisme, sekularisme, liberalisme dalam agama (penjelasan fatwa MUI)
berikut kutipannya:
Pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme agama juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga.
Pluralitas agama (bukan pluralisme agama) adalah sebuah kenyataan bahwa di negara atau daerah tertentu terdapat berbagai pemeluk agama yang hidup secara berdampingan.
Liberalisme agama adalah memahami nash-nash agama (Al-Qur’an & Sunnah) dengan menggunakan akal pikiran yangg bebas; dan hanya menerima doktrin-doktrin agama yang sesuai dengan akal pikiran semata.
Sekularisme agama adalah memisahkan urusan dunia dari agama; agama hanya digunakan untuk mengatur hubungan pribadi dengan Tuhan, sedangkan hubungan sesama manusia diatur hanya dengan berdasarkan
kesepakatan sosial.
ketentuan hukum:
1. Pluralisme, sekularisme dan liberalisme agama sebagaimana dimaksud pada bagian pertama adalah paham yang bertentangan dengan ajaran agama Islam.
2. Umat Islam haram mengikuti paham pluralism, sekularisme dan liberalisme agama.
3. Dalam masalah aqidah dan ibadah, umat Islam wajib bersikap eksklusif, dalam arti haram mencampuradukkan aqidah dan ibadah umat Islam
dengan aqidah dan ibadah pemeluk agama lain.
4. Bagi masyarakat muslim yang tinggal bersama pemeluk agama lain (pluralitas agama), dalam masalah sosial yang tidak berkaitan dengan aqidah dan ibadah, umat Islam bersikap inklusif, dalam arti tetap melakukan pergaulan sosial dengan pemeluk agama lain sepanjang tidak saling merugikan.
dalil:
Allah telah berfirman:
"Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam" (3:19)
"Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasukorang-orang yang rugi".(3:35)
"Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku" (109:6)
"Andai kata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu" (23:71)
Sejalan dengan berkembangnya sekularisme dan liberalisme agama juga berkembang paham pluralisme agama. Pluralisme agama tidak lagi dimaknai adanya kemajemukan agama, tetapi menyamakan semua agama. Dalam pandangan pluralisme agama, semua agama adalah sama. Relativisme agama semacam ini jelas dapat mendangkalkan keyakinan akidah.
Hasil dialog antar umat beragama di Indonesia yang dipelopori oleh Prof.DR.H.A. Mukti Ali, tahun 1970-an, paham pluralisme dengan pengertian setuju untuk berbeda (agree in disagreement) serta adanya klaim kebenaran masing-masing agama telah dibelokkan kepada paham sinkretisme (penyampuradukan ajaran agama), bahwa semua agama sama benar dan baik, dan hidup beragama dinisbatkan seperti memakai baju dan boleh berganti-ganti.
Paham pluralisme agama seperti ini tanpa banyak mendapat perhatian dari para ulama dan tokoh umat telah disebarkan secara aktif ke tengah umat dan dipahami oleh masyarakat sebagaimana maksud para penganjurnya. Paham ini juga menyelusup jauh ke pusat-pusat/lembaga pendidikan umat. Itulah sebabnya Munas VII Majelis Ulama Indonesia merasa perlu merespon usul para ulama dari berbagai daerah agar MUI mengeluarkan fatwa tentang Pluralisme, Liberalisme dan Sekulraisme agama sebagai tuntunan dan bimbingan kepada umat untuk tidak mengikuti paham-paham tersebut.
Fatwa MUI menegaskan pula bahwa pluralisme agama berbeda dengan pluralitas agama, karena pluralitas agama berarti kemajemukan agama. Banyaknya agama-agama di Indonesia merupakan sebuah kenyataan di mana semua warga negara, termasuk umat Islam Indonesia, harus menerimanya sebagai suatu keniscayaan dan menyikapinya dengan toleransi dan hidup
berdampingan secara damai.
Pluralitas agama merupakan hukum sejarah (sunnatullah) yang tidak mungkin terelakkan keberadaannya dalam kehidupan kita sehari-hari.
Fatwa MUI tentang pluralisme agama ini dimaksudkan untuk membantah berkembangnya paham relativisme agama, yaitu bahwa kebenaran suatu agama bersifat relatif dan tidak absolut.
Fatwa ini justru menegaskan bahwa masing-masing agama dapat mengklaim kebenaran agamanya (claim-truth) sendiri-sendiri tapi tetap berkomitmen saling menghargai satu sama lain dan mewujudkan keharmonisan hubungan antar para pemeluknya.
0 komentar:
Posting Komentar